Sabtu, 23 Agustus 2008

Awal Ramadhan dan Syawal 1429H


Perbedaan memulai puasa, jatuhnya idul fitri dan idul adha dikalangan muslim sudah tidak lagi satu, dua kali, tetapi hampir setiap tahun sudah menjadi fenomena. Kondisi demikian agaknya perlu untuk disikapi dengan kedewasaan secara terus menerus. Kadang, sebagian ada yang merasa terhantui dengan peristiwa demikian. Pasalnya, tak mudah untuk menyatukan hari yang paling bahagia tersebut. Hal itu disebabkan perbedaan metoda yang digunakan oleh umat Islam.
Mengamati kalender yang beredar di masyarakat terbitan dari berbagai ormas-ormas Islam termasuk dari pemerintah dalam hal ini Departemen Agama untuk Ramadhan 1428 H dimulai secara serentak sama halnya dengan Ramadhan 1427H lalu. Namun berbeda halnya dengan Idul Fitri 1428H.
Kalender Hijriyah adalah kalender yang mengacu pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh sebab itulah kalender ini sering disebut kalender komariyah. Ada banyak kalender lain yang juga mengacu para peredaran bulan, misalnya kalender Jawa, kalender Cina, kalender Yahudi dan sebagainya. Kalender Hijriyah berbeda dengan kalender nasional yang menggunakan acuan musim atau peredaran semu matahari sehingga sering disebut kalender syamsiyah. Kalender nasional mengawali harinya saat pukul 00 tengah malam dan bersifat tetap. Sedangkan kalender Hijriyah mengawali harinya pada sore hari saat matahari terbenam di suatu tempat sehingga jamnya berubah-ubah dari hari ke hari.
Jumlah hari dalam satu bulan pada kalender nasional sudah diatur secara tetap yaitu: Januari (31), Februari (28/29=kabisat), Maret (31), April (30), Mei (31), Juni (30), Juli (31), Agustus (31), September (30), Oktober (31), November (30) dan Desember (31). Sedangkan jumlah hari dalam satu bulan pada kalender Hijriyah meliputi : Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Zulqaidah dan Zulhijjah selalu berubah bisa 29 atau 30 tergantung oleh nampak tidaknya hilal sebagai pertanda mulainya awal bulan Hijriyah. Ketidakpastian jumlah hari ini dalam sebulan ini disebabkan dalam satu periode putaran bulan memerlukan waktu sekitar 29,5 hari.
Hilal adalah bulan sabit terkecil yang dapat dilihat oleh mata manusia beberapa saat setelah matahari terbenam. Terlihatnya hilal akan didahului peristiwa ijtimak atau konjungsi yaitu saat bulan dan matahari sejajar dalam meridian yang sama yang secara astronomis disebut bulan baru atau new moon. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Danjon seorang astronom dari Perancis menyimpulkan bahwa karena kemampuan mata manusia, lemahnya cahaya hilal serta pengaruh cahaya senja dan gangguan atmosfer menyebabkan pengamatan terhadap hilal amatlah sulit. Berdasarkan kajian terhadap laporan yang dapat dipercaya atas kenampakan hilal di berbagai negara, hilal haruslah memiliki sudut elongasi minimum 7° terhadap matahari atau paling tidak umur hilal minimum 12 jam selepas konjungsi agar ia dapat terlihat oleh mata manusia tanpa peralatan optik. Oleh sebab itulah beberapa laporan pengamat hilal dari Indonesia yang mengklaim dapat melihat hilal padahal kedudukan saat itu masih di bawah limit Danjon tersebut patut diragukan. Sebab bisa saja yang dilihat bukan hilal yang sebenarnya melainkan obyek yang dikira hilal. Obyek tersebut bisa saja lampu pesawat, cahaya planet Venus, awan atau obyek-obyek lain.
Di Indonesia setidaknya berlaku tiga atau empat kriteria yang menjadi acuan awal mulainya bulan Hijriyah dimana masing-masing kriteria memiliki pengikut yang tidak sedikit. Masing-masing kriteria itu adalah : Rukyatul Hilal, Imkanurrukyat, Wujudul Hilal dan Rukyat Global.

Rukyatul Hilal (bil Fi'li)
Adapun yang dijadikan pijakan adalah hadits Rasulullah SAW menyatakan "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari". Berdasarkan hadits tersebut Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul hilal bil fi'li, yaitu dengan merukyat hilal secara langsung. Bila tertutup awan atau menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Hisab digunakan hanya sebagai alat bantu dan bukan penentu awal bulan Hijriyah.

Wujudul Hilal
Menurut Kriteria Wujudul Hilal yang sering disebut juga dengan konsep "ijtimak qablal gurub", yaitu terjadinya konjungsi (ijtimak) sebelum tenggelamnya matahari, menggunakan prinsip dalam penentuan awal bulan Hijriyah yang menyatakan bahwa jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelum Matahari tenggelam dan bulan tenggelam setelah Matahari, maka keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.
Berdasarkan konsep inilah Muhammadiyah dapat menyusun kalender Hijriyah setiap tahunnya termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Ini sesuai dengan konsep Muhammadiyah yang memegang prinsip mempertautkan antara dimensi akal-wahyu dan peradaban manusia dalam kehidupan nyata termasuk dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Hal ini juga merupakan hasil keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah tahun 1932 di Makassar yang menyatakan As-Saumu wa al-Fithru bir ru'yah wa laa man ilaa bil Hisab (berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab) yang secara implisit Muhammadiyah juga mengakui Rukyat sebagai awal penentu awal bulan Hijriyah. Muhammadiyah mulai tahun 1969 tidak lagi melakukan Rukyat dan memilih menggunakan Hisab Wujudul Hilal, itu dikarenakan rukyatul hilal atau melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit dan kadang mustahil untuk dilakukan. Maka hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan Hijriyah. Hisab Wujudul Hilal yang digunakan Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus jadi bukti bahwa bulan baru sudah masuk atau belum. Kemudian sistem tersebut dipertegas kembali pada Munas Tarjih ke-26 tahun 2005 di Padang. Pasca 2002 Persatuan Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah menggunakan Kriteria Wujudul Hilal.

Imkanur Rukyat MABIMS
Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut "imkanur rukyah" dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah yang menyatakan : "Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat, diantaranya; pertama, ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Kedua, ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku. Kriteria ini diharapkan sebagai pemersatu terhadap perbedaan kriteria yang sudah ada, namun kelihatannya secara realitas kriteria ini belum dapat memenuhi harapan karena beberapa ormas Islam memang menerima, dan sebagian lainnya menolak dengan alasan prinsip.

Rukyat Global ( Matla al Badar )
Kriteria ini dipakai oleh sebagian umat muslim di Indonesia lewat organisasi- organisasi tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Penganut kriteria ini berdasarkan pada hadist yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya. Kasus seperti ini tampak dalam pelaksanaan hari raya idul adha 1426 H lalu, Muhammadiyah dan pemerintah menetapkan hari raya berbeda dengan kebijakan pemerintah kerajaan Saudi Arabia.
Secara kebetulan Ramadahan kali ini memang hilal pada posisi menguntungkan sebab ijtimak/konjungsi akhir Sya'ban terjadi pada hari Rabu 29 Sya’ban 1428 H pukul 19:46:02 Wib. Hari tersebut bertepatan dengan tanggal 13 September 2007 saat matahari terbenam di kota Padang pukul 18:19:04.21. Pada saat itu hilal masih berada di bawah ufuk setinggi -1° 59' 21,56. Menurut ilmu pengetahuan modern (falak dan astronomi) posisi hilal yang seperti ini mustahil dapat dirukyat. Maka dengan itu bulan Syakban 1428 H digenapkan (istiqmal) menjadi 30 hari sesuai dengan tuntunan syari’at. Artinya, hari Rabu tanggal 12 September 2007 merupakan hari yang ke-30 dari bulan Sya’ban. Dengan demikian tanggal 1 Ramadhan 1428 H berdasarkan data yang diolah dari data Ephemiris 2007 jatuh pada hari Kamis tanggal 13 September 2007.
Posisi hilal demikian sama-sama didapatkan hasil perhitungan dari kriteria rukyatul hilal, wujudul hilal dan imkanur rukyat sehingga secara serentak umat Islam di Indonesia memulai puasa Ramadhan tahun ini pada hari Kamis12 September 2007.
Namun tidak demikian untuk penentuan Idul Fitri tahun ini. Posisi hilal pasca ijtimak akhir Ramadhan berdasarkan beberapa kriteria sudah dinyatakan positif, tetapi belum mencapai 1°. Adanya kondisi tersebut menyebabkan pengguna kriteria wujudul hilal menentukan Idul Fitri jatuh pada hari Jum’at, 12 Oktober 2007 sementara pemerintah mengganggap belum memenuhi kriteria imkanurrukyat sehingga Idul Fitri pada kalender pemerintah jatuh pada Sabtu, 13 Oktober 2007. Sementara Nahdhatul Ulama masih belum menentukan kapan Idul Fitri sebab masih menunggu kegiatan rukyat hilal yang nampaknya akan mustahil dapat terlihat, mengingat rendahnya posisi hilal sehingga organisasi ini cenderung akan mengikuti pemerintah melaksanakan lebaran pada hari Sabtu.
Namun begitu, secara resmi baik Muhammadiyah, Persis, Pemerintah maupun Nahdatul Ulama sampai tulisan ini diturunkan belum lagi mengumumkan kapan pastinya jatuh 1 Syawal. Muhammadiyah karena Indonesia terbelah menjadi dua wilayah menurut garis ketiggial hilal (nol derajat), maka Majelis Tarjih dan Tajdid menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan PP Muhammadiyah, yang sampai saat ini masih ditunggu, sementara pemerintah memutuskannya pada petang 29 Ramadhan dalam sidang isbat dan Nahdatul Ulama tentu juga akan diputuskan pada petang 29 Ramadhan karena harus melihat bulan terlebih dahulu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagaimana kalau pemerintah menetapkan berbeda dengan Muhammadiyah, apa tidak bermasalah lagi seperti tahun yang lalu?